July 10, 2016

Ini Makna dari "Amor Ring Acintya" , Umat Hindu Wajib Baca !

Amor Ring Acintya adalah kata yang sudah tidak lasim lagi ditelinga kita apalagi bagi para umat Hindu di Bali. Kata ini biasanya diucapkan ketika ada orang meninggal dunia. Biasanya dalam masyarakat mengucapkan “Dumogi Amor Ring Acintya”.

Kata Dumugi berarti semoga. Amor berarti bersatu atau menghilang, atau Menuju kedalam situasi ketiadaan atau tidak tampak. Acintya berarti tidak tersentuh oleh pikiran. Dalam konteks filsafat disamakan dengan sūkṣma dan śūnya. Jadi Dumogi Amor Ring Acintya adalah semoga menyatu dengan “yang mahasuci yang maha tidak terpikirkan” atau semoga bersatu dalam ke Dewataan Tertinggi (Acintya).

Sang Hyang Acintya

Tertera dalam Sastra Jawa Kuna mengatakan beberapa baris terkait dengan ungkapan di atas. Berikut kutipan dari naskah kidung dan kakawin Jawa Kuno:

Amor ring Widhi ada dalam Kidung Sunda disebut ‘saṅ wus amor iṅ widi.
Amor ring Śiwātmaka ada dalam naskah Wangbang Wideha,‘agya ni ṅwaṅ amor iṅ Śiwātmaka.
Amor ring dewata ada dalam Kidung Harsa-Wijaya: ‘saṅ wus amor iṅ dewata; saṅ wus amor iṅ dewa; saṅ wus amor i widi.

Ungkapan tersebut ditujukan kepada para raja, atau orang suci, yang dimaksudkan ‘saṅ wus amor iṅ dewata’ (beliau yang telah kembali ke alam kedewataan’, adalah beliau-beliau yang suci, yang terhormat, ‘memenangkan kehidupan ini’ dan kembali ke alam kedewataan. Jika ingin kembali ke alam kedewataan, tentunya kita harus punya kualitas kedewataan dulu. Kalau kualitas diri kita hanya KW2 atau KW3 tujuan itu akan semakin jauh. Slogan tinggal slogan.

Amor ring Acintya tidak lain cita-cita kemanusiaan terdalam ajaran Siwa, Buddha, dan Hindu pada umumnya, yang kita kenal sebagai pencapaian ‘Moksa’ atau ‘Nirvana’.

Di Bali kita mewarisi lontar-lontar berbahasa Jawa Kuno yang menjadi panduan dalam meningkatkan kualitas diri kita dari KW2 atau KW3 menuju jiwa yang ‘orisinil’. Lontar-lontar tersebut antara lain: Aji Kadyatmikan, Aji Kamoksan, Aji Putus, Dharma Sunya, Dharma Patanjala, Wṛhaspatitattwa, dstnya. ‘Amor ring Acintya’ di dalam lontar-lontar tersebut mempunyai padanannya yaitu: sūkṣma dan śūnya.

Amor ring Acintya adalah tujuan tertinggi semua naskah-naskah tersebut. Di salah satu naskah tersebut, yaitu Wṛhaspatitattwa, disebutkan dalil asal muasal kita harus kita pahami jika kita ingin kembali ke asal muasal kita, alam kedewataan. Logikanya: Jika mau sampai tujuan kita harus mengenal jalan. Jika kita mau ke asal muasal kita, bagaimana kita sampai ke asal jika tidak mengerti prinsip asalmuasal kehidupan? Bagaimana tidak mengenal jalan berharap sampai di tujuan? Langkah-langkah dalam lontar-lontar di Bali disebutkan: Pertama mengenal prinsip tattwa atau prinsip penciptaan dan asal muasal. Kedua mengenal jalan, selanjutnya menempuh jalan, dan dijalani dengan penuh ketulus-ikhlasan ketika menempuh jalan. Disebutkan, setelah tahapan-tahapan itu terjalankan dengan kesempurnaan baru kemungkinan sampai tujuan (Amor Ring Acintya)

Dalam buku Samsara Perjalan atman juga dijelaskan bahwa Faktor kunci di alam kematian adalah samskara [kesan-kesan pikiran] kita sendiri. Perjalanan atma di alam kematian digerakkan oleh energi yang sama dengan energi yang membentuk pikiran. Kecenderungan pikiran yang negatif saat kematian akan membawa kita menuju alam-alam yang gelap dan sebaliknya kecenderungan pikiran yang positif saat kematian akan membawa kita menuju alam-alam yang terang. Karena lapisan badan kita di alam kematian digerakkan oleh bahan-bahan energi yang sama dengan yang membentuk pikiran kita. Sehingga setelah mati kita kemudian akan tinggal atau pergi terbawa pada salah satu alam-alam halus yang paling sesuai dengan kualitas dan kecenderungan pikiran kita sendiri.

Dengan kata lain, faktor paling menentukan dalam menyambut kematian adalah bagaimana evolusi keadaan bathin kita semasa kehidupan dan keadaan bathin kita di menit-menit dan detik-detik terakhir ketika kehidupan kita akan berakhir. Itulah yang akan sangat menentukan kita akan pergi kemana. Mereka yang saat kematian tidak siap, penuh ketidakrelaan karena keterikatan duniawi, penuh rasa sakit, takut, ragu, bingung, melawan, apalagi dalam sifat kejam [tanpa welas asih], dalam kemarahan-kebencian, sangat mungkin nantinya pada proses kematian akan memasuki perjalanan yang gelap.

Inilah sesungguhnya yang dimaksud dengan kematian salah pati. Sebaliknya, kalau di menit-menit dan detik-detik terakhir ketika kehidupan berakhir, kita mengalami kedamaian bathin, sangat mungkin nantinya pada proses kematian akan memasuki perjalanan yang terang. Dan yang paling baik [kalau memungkinkan] tentunya kita bisa amor ring acintya, menyatu dengan “yang mahasuci yang maha tidak terpikirkan”. Jiwa yang sudah terbebaskan [jivan-mukti] akan seketika mengalami moksha [pembebasan sempurna].

Karena itu sangat penting diinformasikan kepada orang-orang yang akan meninggal, di menit-menit dan detik-detik terakhir ketika kehidupan akan berakhir, sangat penting mengalami menit-menit dan detik-detik terakhir yang shanti [damai]. Di jalan dharma kematian adalah perjuangan spiritual yang paripurna. Itulah sebabnya bagi para yogi, para mpu, para danghyang, para maharsi, mengajarkan bahwa tugas spiritual pokok manusia semasa hidupnya adalah membina diri melenyapkan sad ripu [enam kegelapan bathin] dan menumbuhkan sifat penuh welas asih dan kebaikan. Gunanya agar ketika kematian itu benarbenar datang, kita sudah sangat siap dan bisa mengalaminya dalam keadaan yang sangat shanti

Sumber : Budayabali via Daerahbali.com

Kisah Gadis Lumpuh Pelukis Dari Buleleng, Tangannya Yang Lemah Mampu Menghidupi Keluarga

Kadek Windari (25) membuat sketsa lukisan di atas kanvas putih di rumahnya Desa Banjarasem, Kecamatan Seririt, Buleleng, Bali, Selasa (7/6/2016).
Saat itu ia sedang membuat sketsa lukisan bertema Bali Life, yang menggambarkan kehidupan masyarakat Bali tempo dulu.

Keterbatasan kondisi fisik tidak menghalanginya untuk berkarya.
Tangan kirinya menopang tangannya yang tumbuh lebih kecil dari tubuhnya untuk mensketsa obyek yang akan dilukis.

“Karena tulang tangan saya lebih lemah tidak kuat kalau untuk melukis tanpa ditopang,” kata Windari.

Fisik Windari mulai tumbuh tidak normal setelah terjatuh saat dirinya berusia enam tahun.
Sejak saat itulah ia tidak lagi sanggup berjalan dan beraktivitas seperti biasanya karena kedua kaki dan tangannya yang lumpuh.

Gadis ini sejak saat itu pula lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam rumah saja.
Nasib baik mulai menghampirinya sejak setahun lalu seorang pengusaha, Komang Santiawan yang memiliki hubungan baik dengan almarhum ayahnya, Ketut Punia memberikan bantuan alat lukis dan memotivasinya untuk mulai melukis.

Kadek Windari (25)
“Waktu itu Pak Santiawan bilang kalau gambar saya bagus dan dia bantu belikan saya kanvas, mulai saat itu saya belajar melukis di atas kanvas,” ucapnya.

Karya lukisannya kemudian diunggah ke media sosial oleh kakaknya, Putu Agus Setiawan (29) yang juga menderita kelumpuhan fisik.
Mulai saat itu banyak masyarakat yang merespon baik karya lukisan Winda. Pesanan pun mulai berdatangan.

“Pemasarannya lewat website dan facebook. Banyak yang pesan dari Jakarta, Malang, Solo, Yogyakarta, Tangerang dan kalau dari Bali banyak dari Denpasar,” tambah Agus.

Agus selama ini berperan sebagai marketing yang mempromosikan dan menerima pesanan lukisan dari media sosial.
Pesanan tidak saja datang dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Australia, Thailand, republik Dominika sampai Amerika.

Winda biasa melukis sesuai pesanan, seringkali orang memesan lukisannya tentang kehidupan masyarakat Bali.

Satu lukisan di atas kanvas berukuran 20x60 centimeter dihargainya senilai Rp 1,5 juta, sedangkan ukuran lebih besar 60x90 centimeter dijualnya seharga Rp 2,5 juta.
Dalam waktu sebulan Winda bisa mengerjakan dua pesanan lukisan besar atau tiga lukisan kecil dengan pendapatan rata-rata Rp 5 juta.

“Sekarang dari hasil melukis setahun lalu sudah bisa merenovasi rumah dan membelikan saya sepeda motor. Winda sekarang merupakan tulang punggung keluarga sejak ayahnya meninggal dua tahun lalu. Kalau saya lebih sibuk merawat ketiga anak saya ini,” kata ibunya, Ketut Warsiki (46).

Winda bercita-cita ingin menyekolahkan adiknya, Bunga Ayu Lestari (5) hingga ke tingkat pendidikan tinggi.
Gadis ini sehari-hari tinggal bersama ibunya, kakaknya Agus dan adiknya Bunga.

Sementara Agus yang juga menderita kelumpuhan yang hampir sama kini sedang dalam proses menerbitkan buku otobiografi keluarga.
Dahulu sebelum kelumpuhannya lebih parah, laki-laki ini juga piawai melukis, tetapi sejak tak lagi bisa melukis kini ia beralih menjadi penulis buku. (via Tribun Bali)

July 9, 2016

Minim Cowok di Bali , Kini Mencari Sentana di Bali Bikin Galau

Sekarang kebanyakan rumah tangga Bali memprogramkan punya anak cukup 2 saja. Bahkan tidak sedikit keluarga yang punya anak cuma 1 orang. Sehingga sering ada kelakar bernada keluhan : “Nama Nyoman dan Ketut sekarang makin langka di Bali.” Kalaupun ada yang sampai punya anak 3, kebanyakan karena 2 anak sebelumnya lahir perempuan. Sehingga berharap anak ke-3 akan lahir anak laki-laki.

Konon sekarang ini kebanyakan yang lahir adalah anak-anak jenis kelamin perempuan. Nyatanya banyak keluarga yang punya anak 2 atau bahkan anak tunggal perempuan. Kalau anak pertama kebetulan lahir cowok (laki-laki), cenderung keluarga tersebut akan bertahan, berhenti punya anak lagi karena dirasakan sudah cukup punya anak 1, apalagi sudah dapat anak laki-laki.

Begitulah kecenderungan sekarang pada keluarga di Bali. “Punya anak 1 atau 2 sudah cukup. Yang penting sehat, bisa menghidupinya, menyekolahkannya. Lagipula kalau punya anak banyak, biaya hidup, biaya untuk menyekolahkan nanti bebannya sangat tinggi,” demikian alasan yang sering kita dengar. Nah semasih kecil, saat sekolah dan hingga menginjak remaja semua berjalan baik-baik saja. Bahkan orang tua semangat menyekolahkan setinggi-tingginya, tanpa memandang dan membedakan anak perempuan atau anak laki-laki.

Pernikahan Adat di Bali (foto rka)

Mulai Galau, Ketika Anak Sudah Mulai Dewasa

Setelah tamat sekolah atau kuliah, kemudian bekerja. Si orang tua yang kebetulan punya anak tunggal atau semuanya perempuan, akan mulai dihinggapi kegalauan. Anak sudah beranjak dewasa, sudah sepantasnya untuk membina rumah tangga. Kalau punya anak 2 orang semua perempuan, anak yang mana diajak di rumah? Maukah dia dicarikan sentana?

Sentana adalah posisi laki-laki dalam perkawinan menjadi posisi perempuan. Dan nantinya melakukan segala sesuatunya menggantikan posisi mertua laki-laki dalam urusan adat di rumah atau lingkungan keluarga istri.

Kalaupun mau, dan seandainya sudah punya pacar, sudahkah mereka sampaikan ke pacarnya bahwa dia akan tinggal di rumah keluarga si istri nantinya. Maukah (siapkah) pacarnya nyentana ?

Itulah kegalauan perasaan dan pikiran para orang tua terhadap anak gadisnya yang sudah beranjak dewasa. Di Badung, Denpasar, Gianyar dan Tabanan tradisi (adat) nyentana itu masih bisa diterima. Namun meski diterima secara adat, nyatanya banyak anak gadis dan para orang tua didera perasaan galau. Karena “terbatasnya” anak laki-laki yang tersedia dan bersedia nyentana. Pada masa lalu, mungkin masih mudah mencari sentana. Karena sebuah keluarga Bali sudah biasa punya anak banyak. Sehingga saat itu nama Nyoman, Ketut bahkan Wayan Balik, Made Balik banyak kita jumpai.

Kondisi yang sebaliknya sekarang ini, menjadikan bukan saja para orang tua yang diliputi perasaan was-was dan galau, para gadis pun tidak kurang diterpa oleh “beban” pikiran itu. Maka tak sedikit mereka menumpahkan perasaannya di media sosial dengan berbagai ungkapan, kadang bercanda, menggelitik, bahkan juga serius. Ungkapan-ungkapan yang mengarah untuk mencari sentana itu, mengundang candaan laki-laki untuk sekedar jail atau iseng.

Sebagian daerah di Bali menerima tradisi nyentana. Namun sebagian lagi daerah di Bali tidak ada (belum menerima) tradisi nyentana. Ditambah sekarang, keluarga di Bali kebanyakan keluarga punya anak 1 atau 2 orang. Menjadikan usaha sebuah keluarga maupun anak gadis untuk mencari sentana lumayan membuat galau. (via Suluhbali.co)

Mengapa Umat Hindu Menghormati Sapi? Ini dia Alasannya !

Melihat banyaknya arca-arca sapi di tempat suci Hindu baik yang ditemukan di situs purbakala maupun di tempat-tempat suci yang masih aktif digunakan sebagai tempat peribadatan mengundang sebuah anggapan salah kaprah terhadap Hindu. Orang sebagian besar orang, Hindu identik dengan penyembah sapi. Apa lagi pada kenyataannya sebagian besar umat Hindu di dunia berpantang untuk mengkonsumsi daging sapi. Benarkah Hindu memuja Sapi?

Berdasarkan peradaban Veda, sapi memang merupakan binatang yang sangat di sakralkan. Diuraikan bahwa sapi merupakan lambang dari ibu pertiwi yang memberikan kesejahtrean kepada semua makhluk hidup di bumi ini. Karena itulah para umat manusia diajarkan untuk tidak menyemblih dan memakan daging sapi. Selain mempunyai manfaat di dalam kehidupan rohani, sapi juga memelihara kita di dalam kehidupan material kita seperti misalnya dengan memberikan susu sapi dan berbagai produk susu. Selain susu dan berbagai produk, sapi juga memberikan berbagai jenis bahan obat-obatan seperti misalnya kencing sapi dan tahi sapi yang bahkan ilmuwan modern sekalipun menerima bahwa air kencing sapi dan kotoran sapi mengandung zat anti septik yang bisa digunakan untuk mengobati berbagai jenis penyakit. Di India, didalam sistem pengobatan Ayur Veda, terdapat teknik yang di sebut pengobatan panca gavya. Panca gavya adalah lima jenis produk yang di hasilkan oleh sapi yaitu; susu, yogurt, ghee, kencing sapi dan kotoran sapi. Panca gavya ini diangap sebagai bahan bahan yang menyucikan. Bahkan di dalam yajna dan memandikan pratima di berbagai kuil, bahan bahan ini sangat diperlukan. Tanpa panca gavya, seseorang tidak bisa menginstalasi pratima di dalam kuil. Selain bahan bahan yang bisa di komsumsi dari segi material, sapi juga membantu para petani di dalam berbagai hal. Sapi jantan di gunakan untuk membajak dan kotoran sapi digunakan untuk pupuk.



Sri Krsna sendiri yang muncul ke dunia material ini memberikan contoh kepada kita semua untuk menghormati sapi. Beliau bahkan lebih memementingkan sapi dari semua makhluk hidup lainya termasuk para brahmana. Seprti diuraikan di dalam sastra

“namo brahmaëya-deväya go-brähmaëa-hitäya ca jagad-dhitäya kåñëäya govindäya namo namaù”.

Di vrndavan, tradisi menghormati sapi-sapi masih berlangsung sampai sekarang. Di beberpa tempat di daerah pedalaman di Vraja bumi, ketika mereka memasak roti (capati), roti pertama akan diberikan kepada sapi karena mereka mengangap bahwa krsna hanya akan menerima persembahan kalau mereka memuaskan sapi-sapi dan para brahmana. kemudian roti kedua di berikan kepada orang suci yan kebetulan lewat di daerah desa tersebut dan roti lainnya, di persembahkan kepada Sri Krsna.

Disini hendaknya kita membedakan istilah menghormati dan memuja. Orang Hindu memperlakukan sapi secara istimewa adalah untuk menghormati sapi, bukan memuja sapi. Hindu hanya memuja satu Tuhan, “eko narayanan na dwityo”sti kascit” tapi menghormati seluruh ciptaan Tuhan, terutama yang disebut ibu, para dewa yang mengatur alam material dan semua umat manusia.

Dalam tradisi Hindu dikenal beberapa entitas yang dapat disebut sebagai ibu yang harus kita hormati, yaitu;


  • Ibu yang melahirkan kita, yaitu ibu kandung kita sendiri.
  • Ibu yang menyusui kita walaupun tidak mengandung kita.
  • Ibu yang memelihara dan mengasuh kita walaupun tidak melahirkan dan menyusui kita.
  • Sapi yang telah memberikan kita susu, sumber panca gavya dalam pengobatan Ayur Vedic dan juga yang tenaganya telah kita gunakan untuk membantu pekerjaan-pekerjaan kita.
  • Ibu pertiwi, yaitu bumi dan alam ini yang telah memberikan penghidupan pada kita dan harus kita jaga kelestariannya.


Sekarang kita gunakan hati nurani kita, apakah kita akan tega membunuh dan memakan daging sapi yang sudah kita minum susunya, yang sudah membantu pekerjaan-pekerjaan fisik kita dalam menarik pedati dan juga membajak sawah?

Disaat manusia dapat dengan mudahnya membunuh, memotong kepala ayam dan sapi tanpa perasaan, maka disaat itulah mereka akan memotong kepala manusia dan bahkan ibu kandungnya sendiri seperti memotong kepala seekor ayam.

Kita tentunya masih teringat di masyarakat kita di kalangan hindu di Bali. Ketika saya masih kecil, orang tua saya sering memperingatkan bahwa kalau kamu makan daging sapi, kamu tidak boleh datang ke pura tanpa mandi terlebih dahulu. Peringatan ini di berikan oleh orang tua saya dan sudah merupakan peringatan turun temurun dari nenek moyang kami. Namu sayangnya beberapa orang berangapan bahwa karena kalau kita makan daging sapi, maka kita tidak bisa masuk ke pura, itu berarti sapi adalah binatang haram. Ternyata setelah kita amati dan mempelajari kitab suci veda, ternyata sapi merupakan binatang yang suci yang dihormati oleh para dewa sekalipun. Bukanlah karena sapi merupakan binatang haram, maka kalau kita makan daging sapi kita tidak bisa ke pura tetapi karena sapi merupakan binatang yang sangat suci, sehinga kalau kita memakan daging sapi, maka kita diangap orang yang sangat berdosa, degan demikian tidak bisa masuk ke pura. Karena itu, setelah makan daging sapi, kita harus menyucikan diri, paling tidak mandi terlebih dahulu sebelum memasuki tempat suci.

Ini bukan berarti bahwa kita bisa berlangsung memakan daging sapi dan kemudian mandi dan menyucikan diri. Tidak! Itu bukanlah proses prayascita yang sejati. Proses prayascita yang sejati adalah menyucikan diri dari perbuatan berdosa, merenungkan kegiatan berdosa tersebut dan berusaha untuk menghindari kegiatan tersebut. Kita hendaknya tidak melakukan prayascita seperti gajah mandi. Sri Pariksit maharaj di dalam Srimad Bhagavatam menguraikan sebagai berikut.

kvacin nivartate ‘bhadrät

kvacic carati tat punaù

präyaçcittam atho ‘pärthaà

manye kuïjara-çaucavat
Kadang kadang, orang sadar akan kegiatan berdosa namun melakukan kegitan berdosa lagi. Dengan demikian saya mengangap proces melakukan kegiatan berdosa yang berulang ulang dan penyucian berulang ulang sebagai hal yang tidak berguna. Ini sama halnya dengan gajah mandi ( kunjara-sauca-vat), karena gajah membersihkan dirinya dengan mandi namun begitu selesai mandi dan kembali ke daratan, sang gajah akan menghamburkan lumpur pada kepala dan badannya. ( Srimad Bhagavatam, 6.1.10).

Jadi ajaran dari orang tua kita, tidak boleh ke pura setelah makan daging sapi, hendaknya diambil serius dan menghindari daging sapi selama lamanya dan berusaha mengerti keagungan sapi. Diuraikan juga bahwa orang yang membunuh sapi, atau makan daging sapi, akan menderita di planet neraka selama ratusan tahun untuk membayar satu dari bulu sapi yang mereka makan. kalau seseorang makan daging sapi yang memliki seratus ribu bulu, maka orang tersebut mesti menderita di neraka selama 100.000 dikali 100 tahun. Sudah tentunya kita menghindari penyemblihan sapi dan makan daging sapi bukan karena takut untuk masuk neraka tapi karena rasa kasih sayang kita kepada sapi yang telah berkenan memberikan kita berbagai jenis makanan seperti yang telah diuraikan di atas.

Sumber : Narayana Smrti

Pulang Sebelum Calonarang Usai Bisa Dicegat Leak, Mitos atau Fakta ?

Nampaknya kepercayaan larangan pulang lebih awal sebelum pertunjukan calonarang usai bisa dicegat leak bukan sekedar mitos, namun memang benar-benar terjadi.

Menurut Ketut Kodi, SSP, M.Si seorang dalang dan juga seniman calonarang mengatakan hal itu bisa terjadi karena pada pertunjukan calonarang ada namanya gending tunjang. Gending ini merupakan salah satu gambelan pengiring pada pertunjukan calonarang, dimana mampu membangkitkan kekuatan para leak.

Salah satu adegan dalam pertunjukan calonarang

“Di gambelan tunjang ada aksara dan suara yang mampu membangkitkan kekuatan leak,” ungkapnya. “Maka setiap ada calonarang tidak diperkenankan untuk pulang pada pertengahan pertunjukan,” kata Ketut Kodi pada Seminar Membedah Etika Tari Rangda, di Rumah Topeng dan Wayang Setiadharma, Ubud, Gianyar, Minggu (27/3/2016).

Karena para leak dibangunkan, hal ini kemudian membuat mereka (para leak) keluar dan menari-nari berkeliaran di dekat lokasi pertunjukan calonarang. “Karena dibangkitkan, para leak akan ngigel di perempatan, di jalan dan di dekat lokasi pertunjukan,” ujarnya.

Jika memaksakan diri untuk pulang sebelum usai pergelaran calonarang bisa saja akan bertemu dengan berbagai wujud leak di perjalanan, “jika pulang lebih awal, maka pulang dari calonarang bisa bertemu dengan wujud leak seperti bojong (monyet…red), kambing, babi dan sebagainya,” ungkap Kodi.

Sumber : Suluhbali

Prasasti Ini Jadi Ikatan Kerukunan Umat Hindu dan Islam di Karangasem Bali

Banjar Bukit Tabuan, Desa Bukit, Kecamatan/Kabupaten Karangasem, Bali memiliki tingkat kerukunan antar umat beragama sejak abad 16 Masehi. Meski berbeda keyakinan, namun umat Hindu dan Islam di Banjar Bukit Tabuan tampak seperti saudara.

Mereka tak pernah berselisih. Warga hidup berdampingan di wilayah yang ada di atas Pegunungan Seraya. Kerukunan antar umat beragama ini dipersatukan prasasti yang diyakini sakral. Umat muslim di Banjar Bukit Tabuan telah ada sejak abad 16 Masehi.
Saat itu mereka dipindahkan Raja Karangasem Anak Agung Ngurah Karangasem dari Yeh Kali menuju Pegunungan Seraya.

Sejumlah krama melaksanakan upacara di Banjar Bukit Tabuan, Desa Bukit Karangasem

Sejak saat itu, tali persaudaraan antar sesama terjalin.

Seperti tolong menolong dan saling membantu antar sesama sudah biasa.
“Kemarin saat Safaran dan Galungan, acaranya jadi satu. Kami melakukan acara bersamaan di sekitar prasasti. Namun kami bergantian melaksanakan. Toleransi di sini kental sekali,” kata seorang warga Banjar Bukit Tabuan, Abu Rahman, Minggu (18/10/2015).

Informasi yang dihimpun Tribun Bali dari warga Banjar Bukit Tabuan, prasasti yang berada di Pura Bhur Lokha sudah ada sejak para leluhur mengenal salat telu waktu atau sembahyang tiga waktu.Meraka datang membawa sesajen menggelar ritual di sekitar prasasti tersebut.

Ritual itu dilaksanakan sebelum dan sesudah mengelar panen raya dan mengucapkan rasa syukur. "Kerukunan ini sudah terjadi sebelum kami ada. Sampai sekarang hingga ke depannya toleransi akan kami junjung,” jelas Mahyudin.

Bendesa Adat Seraya, I Nyoman Matal mengaku ikatan persaudaraan umat Hindu dan Islam di Banjar Bukit Tabuan telah terjalin sejak dulu.

Tali persaudaraan itu diikat sebuah prasasti yang merupakan warisan leluhur. Ia menambahkan, umat Hindu dan Islam di Bukit Tabuan terkadang menyampaikan rasa syukur di prasasti peninggalan leluhurnya.

Sumber : Tribunnews Bali